|
 about me
It's Amanda Dara Amadea Susilo, but I'll go by the name Dara Susilo. I'm a Redwood, I got hazardous impetuous mind, and act precociously. I am rare, odd and inconspicuous.
15 years old fresh daisy, a proud Indonesiana with loveable words. I smell like an old wooden cabinet, but I'm told Victoria's Secret would make me smell nicer, so I got one.
What else? Read and judge, love.
extra infos : I don't like ice cream and candy. I hate Alexa Chung. I love Arctic Monkeys.
|
|
|
|
|
Tuesday, 12 May 2009,08:21
Where Did The Rainbow Go?
Ah, hanya gue aja yang terlalu memikirkan, atau apa kalian juga pernah merasakan hal yang sama? Bukan suatu hal yang mampu membuat gue gundah, namun mampu membuat gue menangis tersedu-sedu. Gue sungguh kangen hidup gue yang lama. Maksudnya, gue tahu umur 14 tahun memang belum bisa dibilang cukup umur untuk merasakan pahit manisnya dunia sialan ini. Tapi sungguh, kadang gue bertanya di malam hari yang hening, saat semua orang telah terlelap dan rupanya raga gue masih enggan untuk memejamkan mata.
Apa sih yang terjadi dua tahun belakangan? Kemana saja Dara pergi, apa ia akan kembali?
Konyol. Bahkan gue aja gak tau jawaban bagi pertanyaan gue sendiri. Beberapa bulan lalu, gue liburan berlima dengan keluarga kecil gue. Sebuah perjalanan yang cukup menyenangkan namun melelahkan luarbiasa buat gue, it might be just an ordinary trip for. But for me, it's more than that. I know, I was acting so annoying that time, my Mom and Dad were mad at me, they said I'm such a spoiled brat, I just know how to make everything worse. I know I was so weird, but it's more than that. It's really more than a splendid holiday That trip, brings back the good times, that has gone for a long long time. And it does, still make me cry, a lot.
I love the seashore. Hanya hari menyenangkan lainnya di liburan seminggu gue. Orangtua gue dan adik-adik gue lagi siap-siap makan malam, entah kemana mereka, meninggalkan anak sulung mereka di pinggir pantai yang asing dan sepi. Pikiran gue sedang tidak di tempat, dan sungguh masa bodo dengan urusan-perut itu. Gue hanya sedang menyusuri pinggir pantai, dengan koneksi internet HP gue yang payah. Berusaha nelfon Yessi tapi enggak bisa, dan Noni juga lagi sibuk. Ah, pada akhirnya gue menggeletakkan begitu saja HP gue diatas pasir yang kasar. Gue lelah, seharian menggenjot sepeda mengelilingi Sanur bukan hal yang enteng, loh. Debur ombak membuai pendengaran gue, dan sinar matahari yang mulai meredup malah mengaburkan pandangan gue. Akhirnya gue menjatuhkan badan gue begitu saja di pasir yang asin, memandang statis matahari yang perlahan hilang dibalik ombak. Momentum yang indah telah terlewati, sebuah foto yang indah telah tersimpan di kamera gue. Gue selalu suka matahari terbenam, dan sekaligus, that splendour view still hurts me.
Where did my perfect life go? Mengingatkan gue akan sejuta kenangan manis yang mampu menusuk gue begitu dalamnya, mengingatkan gue akan kehidupan gue sekarang yang berjalan tak semestinya. Kehidupan gue yang begitu palsu dan memuakkan, sekaligus menggerogoti tameng gue tiap saatnya. Is this Your punishment for my irresponsible behaviour, God?
Kemanalah sahabat-sahabat gue yang gue sayang sepenuh hati? Sosok-sosok yang mampu membuat gue tertawa tanpa harus dibuat-buat, sahabat yang memaklumi segala perangai mengerikan gue. Mereka yang peduli akan gue dan mereka yang mengerti gue. Para pendengar yang bijak, dan lisan mereka yang manis dan nyata. Mereka bukan pendusta macam gue, dan gue cinta mereka. Melebihi rasa cinta gue akan diri gue sendiri, atau kehidupan fana lainnya.
Ah.
Tapi itu dulu kan? Dan bukan sekarang, bukannya begitu? Bukankah hanya karena dahulu kita hanya segerombolan anak polos dengan dunia kecil kita yang ceria? Now we've lost our dignity, friend. Kita memang masih belia, masih SMP, namun kita sama mengerikannya dengan mereka yang lebih tua. Terutama gue, gue kotor dengan segala hal menjijikan yang gue lakukan, dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. No one. Ini lebih dari yang lo bayangkan. Jauhi gue, karena gue kotor, hm? Dan pura-puralah tidak melihat betapa rasa rindu gue telah membuat gue segila dunia sialan ini. Apalah artinya jarak antara Indonesia-Qatar, Lo? Terlebih jarak antara SMP 11-SMP PL yang enggak seberapa? Tapi begitu susahnyakah bagi kita untuk meluangkan sedikit waktu untuk kembali pada masa lalu yang indah? Jangan tertawa, but I miss my Allyda. Gue sayang mereka, dan bukannya pertemanan kotor yang saling menusuk seperti saat ini.
I just found this, and is that worth it if I cry for the good times, old friend?
Serunya, gw, Liddie sama Odie bisa ngeledekin mereka! Trus, gue curiga Tiara kena Schizophrenia. Abisan dia suka menyendiri, tiba-tiba nangis dll, deh! Gw gak tau Tiara cuman caper atau bener-bener sakit. Yang pasti gw mau mengamati Tiara dulu.
I laughed. For God's sake, and I also cried. Konyol, ya? Gue tertawa, menunjukkan potongan diary konyol semasa SD ke nyokap gue, dan nyokap gue hanya tersenyum paksa yang kikuk dan kembali sibuk dengan urusannya sendiri yang enggak pernah gue mengerti. Lalu, gue berbalik, dari balik pintu yang berdecit, gue menatap kearah bokap gue di meja makan, sempat terpikirkan untuk menunjukkan potongan kertas berharga ini, tapi, tentu saja, itu hanya sebuah angan konyol. Andaikan ia bukan ayah gue, dan gue bukan anaknya, maka hubungan gue dan Ayah gue tidak lebih dari dua orang asing yang enggak saling mengenal, namun dihubungkan dengan hubungan darah yang menyesakkan. Apa gue pernah bertingkah layaknya seorang anak bagi dirinya? Dan apakah gue pernah merasakan kasih sayang yang nyata dari Ayah gue? Bukankah jawabannya sama-sama nihil?
Did I grow up according
to plan?
Bukankah ucapan gue tentang betapa baik dan serunya bokap gue enggak lebih dari kebohongan yang memalukan? Dan bukankah obrolan seru antara gue dan Ayah yang gue ciptakan selama ini, sebetulnya enggak pernah terjadi? Panggil gue seorang pendusta, memang gue seorang pendusta yang menyedihkan. Kenyataannya, yang gue lihat ke Ayah gue enggak lebih dari sesosok Ayah yang enggak pernah mengenal gue. Mencoba mencurahkan segala kasih sayangnya dengan fasilitas lengkap yang tak berarti apa-apa dan tidak lebih dari sekedar barang bisu. Dia mencoba menyayangi gue, tapi dia tidak pernah benar-benar menyayangi gue. Dari sedikit banyak sisi, gue begitu persis dengan dia. Ucapan gue, tingkah laku gue, bahkan selera musik gue. Tapi tetap saja, dia terlalu sibuk dengan segala hal dalam pikirannya. Dan yang ia tahu kan hanya memuaskan semua kebutuhan gue, dan menagih hasil sempurna dari segala usaha gue. Tapi aku bukan Dewa, Ayah. Dan bukankah kasih sayang yang dia curahkan kandas begitu saja saat umur gue menjejak 12 tahun? Masih terlalu muda untuk kehilangan figur Ayah yang hangat.
Ah, tapi memang kenyataannya begitu. Saat ini gue tidak sedang membual, kok.
Sejuta pertanyaa berputar di relung otak gue. Tapi tetap aja enggak pernah ada jawaban yang mampu menghentikan tangis gue yang menyedihkan. Jadi, sekarang, apa salah bagi gue jika gue merasa nyaman jika jauh-jauh dari dia? Apa yang ia harapkan dari gue enggak akan pernah jadi kenyataan. Mungkin dulu, iya. Mungkin dulu dia menyayangi gue sepenuh hati, tapi sekarang tidak. Dia benci remaja, ya Allah. Apa semua karena masa lalu Ayah gue yang mneyakitkan? Apa semua karena masa remaja Ayah gue yang tidak pantas untuk dibahas disini?
Dia enggak pernah tahu betapa gue emngidolakan dia, dia enggak pernah tahu betapa gue bangga ber-Ayah-kan sesosok pilot tegas dan bewibawa macam dia. Dia enggak pernah tahu etapa sesungguhnya gue sungguh ingin emnjadi seperti dirinya. Dan dia juga enggak tahu betapa sakitnya hati gue tiap kali ia mengacuhkan gue.
Dan sebuah bulir asin kembali mengalir di pipi gue.
Aku sayang Ayah, masih. Where did the rainbow go?
|
|