|
 about me
It's Amanda Dara Amadea Susilo, but I'll go by the name Dara Susilo. I'm a Redwood, I got hazardous impetuous mind, and act precociously. I am rare, odd and inconspicuous.
15 years old fresh daisy, a proud Indonesiana with loveable words. I smell like an old wooden cabinet, but I'm told Victoria's Secret would make me smell nicer, so I got one.
What else? Read and judge, love.
extra infos : I don't like ice cream and candy. I hate Alexa Chung. I love Arctic Monkeys.
|
|
|
|
|
Saturday, 14 November 2009,04:27
Masalah Adolesen
Bodoh. Bodoh. Bodoh. Gue tetap merutuki diri sendiri, dalam hati, sementara lisan gue tetap berceloteh riang dan tertawa menanggapi tiap lelucon-lelucon yang kawan-kawan gue lontarkan. Tapi dia tidak tertawa, sosok borjuis itu terus menerus menatap Blackberry sialan itu lekat-lekat, terkadang hanya tertawa kecil jika tawa kami sudah membahana berlebihan. Gue menghela napas, setidaknya bisa nggak sih orang itu selepas dulu, tertawa dan tersenyum pada gue? Gue kembali bergelut dengan soal-soal itu. Gue selalu bernat untuk mendapatkan hasil yang lebih baik tiap kali gue datang ke tempat les itu. Gue rela mengerjakan setumpukan Matematika yang selalu gue benci itu. Hk, tapi toh gue akan berakhir tertawa-tawa dengan kawan-kawan cowok gue.. Atau memandangi orang itu dengan tak berdaya. Gue tidak akan pernah bisa belajar seperti yang diharapkan orangtua gue jika orang itu terus mengusik gue. Jadi, gue akan bercerita tentang perasaan gue. Gue ingat sekali gue berusaha tampil lebih rapi daripada biasanya saat suatu waktu orang itu bilang bahwa gue terlihat beda. Gue pura-pura tak mendengar dan hanya terkekeh sambil lalu, ciri khas gue untuk menepis godaan-godaan dari temen cewek-cewek gue. sekalipun, seperti remaja labil kebanyakan, gue.. Senang. Luarbiasa senang. Tapi minggu-minggu berikutnya saat dia jadi enggan datang ke tempat les dan gue malah menjadi semakin konyol karena pengaruh teman-teman cowok gue, entah kenapa gue merasa ada yang semakin beda dengan sosok yang tidak pernah gue kenal baik sebelumnya itu. Dia diam sepanjang sesi pelajaran, menatap gue acuh sambil lalu saat teman-teman gue mulai menggoda gue saat dia datang. Gue kadang merasa dia menganggap gue cewek aneh dengan ucapan blak-blakan gue. Dia terlalu sibuk dengan Blackberry-nya, dan hidupnya, hidup seorang pembalap borjuis mudanya itu. Yah, gue tidak pernah benar-benar ada dalam hidupnya sih. Jelas saja gue tidak tahu menahu tentang apapun yang terjadi dengannya. Yah lagipula sekalipun gue suka sama orang itu--yah, itu kan hanya sekedar perasaan.
|
|
Thursday, 12 November 2009,07:15
Ini, Untuk Kalian.
Noni, Anzal, Yessica atau siapapun.
Noni tersinggung dengan post gue sebelumnya, dan mungkin juga Yessica. Bahkan gue sudah tahu semua masalah berawal dari blog post itu saat gue kembali ke sekolah mereka tidak menyapa gue seperti biasanya. Hanya Anzal dan yang lain, dan gue tahu mereka tersinggung luarbiasa. Sensitif. Atau apa gue yang terlalu lancang?
Dan jika gue bilang gue tidak menyesalinya? Bagaimana kalau ternyata hidup gue bukan hanya berputar pada mereka? Atau apa mereka melewatkan dua paragraf terakhir? Gue tidak membenci mereka, gue hanya lelah. Dan bukankah itu wajar jika suatu saat gue merasa muak dengan perlakuan kalian yang semena-mena? Saat kalian membenci gue dengan post gue, apakah kalian pernah berpikir betapa terkadang gue benci ditertawakan seperti sesosok pecundang kecil payah yang hanya bertengger di pundak kalian bagaikan segelut benalu, saat gue tahu gue bisa menjadi sesosok yang lebih dihargai bagi orang lain? Tapi gue tidak pergi untuk orang lain karena gue terlanjur menganggap kalian kawan terdekat gue? Tawailah gue! Toh gue juga tertawa! Gue menertawai kebodohan gue sendiri, gue yang hanya dapat diam tiap kali selentilan-selentilan kata menyakitkan kalian kalian tujukan pada gue seolah itu hanyalah lelucon yang gue akrab dengannya? Dan apalah gue? Manusia tanpa hati? Atau kawan yang hanya ada disana sebagai bahan lelucon kalian?
Ya, gue butuh kalian. Gue tertawa pada setiap lelucon kalian, gue menikmati sebutan-sebutan yang kalian tujukkan pada gue. Gue senang menjadi bagian dari kalian, di suatu hari bahkan gue berpikir untuk tidak datang ke reuni SD gue sama sekali karena toh mereka bagian dari masa lalu gue dan sekarang di masa kini kalianlah teman-teman yang gue punya. Tapi saat gue kembali ke kenyataan, tiap kali gue hendak berbicara dan kalian hanya mengacuhkan gue seakan gue tidak ada, dan selanjutnya menertawai perbedaan antara gue dan kalian, kemanalah gue akan pergi? Kalau gue telah meninggalkan masa lalu yang menyayangi gue, dan pada saat gue kembali ke masa kini yang gue sayangi, yang gue dapatkan hanyalah kalian; sibuk dengan urusan kalian sendiri, hanya menatap gue saat kalian membutuhkan seseorang untuk ditertawakan? Kemanakah gue akan pergi? Gue butuh kalian, tapi pernahkan kalian menganggap gue benar-benar ada?
Ya, gue sayang kalian, tapi gue terkadang membenci kalian juga. Dan apakah kita masih bisa menjadi teman setelah kalian tahu bahwa gue tidak sesabar itu? Bahwa di malam yang paling dingin pun gue menangis sepetri remaja labil lainnya, menyadari bahwa gue tak dapat menemukan seseorang yang benar-benar bisa gue sebut sahabat? Gue bukan orang yang sensitif, gue oke dengan lelucon-lelucon kalian ataupun kalian yang kadang menertawai gue. Tapi--bukankah kalian memperlakukan gue berbeda selama ini? Bukankah kalian benci direndahkan sama seperti gue benci jika lelucon kalian sudah kelewatan tapi gue hanya tersenyum, karena toh jika gue marah kalian tahu gue tidak akan pernah bisa menampakkannya di hadapan kalian?
Kadang gue berpikir, apa kalian mengaggap gue sama dengan kalian? Remaja 14 tahun yang bisa sakit hati, bisa tertarik dengan lawan jenis, bisa merasa sakit dan bisa menangis karena takut kehilangan kawan-kawannya? Pernahkan kalian membayangkan gue menangis dalam kegelapan menulis sebuah post blog karena gue terlalu takut untuk bicara di depan kalian? Karena gue merasa bersalah tapi di sisi lain gue ingin kalian tahu gue hanya ingin diperlakukan sama? Oh, gue tidak sesabar Adri, maaf. Kadang gue hanya lelah hadir diantara kalian hanya sebagai lelucon pegganti kejenuhan. Saat gue ingin sekali bercerita tentang sesuatu yang gue pikir akan menyenangkan kalian juga, tapi kenyataannya gue toh bukan seorang Indira dengan cerita menakjubkannya atau Noni yang pengertian dan Anzal yang mudah menempatkan diri. Saat gue datang pada kalian, gue hanya tidak tahu dimana tempat gue.
Gue bersumpah demi apapun, gue tidak merakayasa kata-kata gue disini. Gue meminta maaf jika kalian salah mengartikannya, menyebut gue dengan dia dengan egoisme tinggi dan kata-kata yang membuat kalian tersinggung. Untuk tahun terakhir kita, untuk tiga tahun yang berharga, gue meminta maaf telah membuatnya rancu seperti ini. Gue hanya ingin beberapa tahun dari sekarang saat gue tidak lagi mengenali wajah kalian, gue hanya ingin kalian ingat bahwa gue juga salah satu dari kalian.
|
|
Tuesday, 10 November 2009,23:07
Thing I Always Wanted To Have; Humbug
Gue berharap gue orang pertama di Jakarta. Yap, orang pertama yang punya.
24 Agutus 2009. Gue hanya bisa menatap bule-bule itu dengan Humbug ditangan mereka, tersenyum cerah dan foto-foto sambil pamer. Besoknya gue ke Disctarra PIM, dan tentu saja gue tidak menemukan Humbug itu di deretan rak-rak CD baru. Gue melengos, kembali pulang. Nyokap gue tersenyum penuh kemenangan, 200 ribunya gue kembaliin sama dia. "Nggak ada kan? Yaiyalah." oke nyokap gue kejem.
Seminggu setelahnya, setelah buka puasa bareng ex-86 gue sama Noni memisahkan diri dari rombongan, balik lagi ke Disctarra. Hati mengatakan tidak bakal dapet, tapi Noni tetep optimis. Gue bertanya sama si mbak, apa CD Arctic Monkeys yang baru udah keluar? Si mbak tersenyum cerah, "Sebentar ya, Dek, saya cari dulu masih ada atau enggak." gue langsung menatap Noni penuh kemenangan. MASIH ADA ATAU ENGGAK-nya si mbak, membuat gue girang, GUE AKAN BAWA PULANG HUMBUG! GUE AKAN BAWA PULANG HUMBUG! Tapi saat gue liat Noni dia diem, gue diem, disibukkan dengan pikiran gue-berarti-bukan-orang-pertama-yang-punya-humbug, dan baru inget kalo duit gue tinggal 20 ribu. Sekalipun ada, gak ngefek, toh gue gak bakal beli, dan gue harus nunggu beberapa hari lagi sampai akhirnya Humbug bisa ada dalam pelukanku. Noni kayaknya masih punya duit. Oke, bodohnya gue gak ngirit duit.
Si mbak kembali, gue berharap dapat menemukan CD kecoklatan itu digenggamannya, hanya untuk gue dan Noni, bukti cinta kami pada AM. Bukti cinta bahwa kami bukan fans gratisan! Senyum gue perlahan memudar, melihat si mbak datang bertangan kosong. "Udah abis, Dek." Gue mengernyit, WOY MBAK HUMBUG BARU KELUAR SEMINGGUAN WOY! Dan gue kembali menatap Noni, "Oh yaudah deh Mbak, makasih." gue ikut keluar, mengikuti jejak langkah Noni, masih heran, baru sadar betapa gilanya fans AM d Indonesia. Dan gue dapet pencerahan.
Mbak-nya gatau album baru AM udah keluar lagi. Dia pikir yg Favorite Worst Nightmare, kayaknya. Gue kembali terpuruk, tapi hati tak ingin menyerah, gue kembali meninggalkan Disctarra dengan tanagn kosong. Tapi jiwa berkata, JANGAN MENYERAH!
Hari-hari kujalani dengan hampa, tanpa kehadiran Humbug-ku, iTunes bagaikan selongsong jiwa tanpa perasaan. Kupandangi Favorite Worst Nightmare-ku tiap malam, oh, kapankah datang pendampingmu, wahai Favorite Worst Nightmare? Andaikata kini Humbug sudah ditangan, maka adalah bukti bahwa saya bukan fans gratisan! WOOHOO! SAYA BUKAN FANS GRATISAN!
Sayangnya, bukti itu tak ada.
Aku menunggu tapi pencerahan akan kedatangan Humbug tak juga datang. Sampai suatu hari, di akhir Agustus, Noni bilang sama gue, "Dar, masa ternyata si Adri suka AM deh." gue siyok. Si Adri kecil, yang rambutnya kayak cotton bud, yang mukanya kayak Edna Mode-nya The Incredibles..................di-dia suka AM? Oke, gue masih siyok. Esok harinya gue pertanyakan hal itu pada yang bersangkutan, si kecil bilang, "Iya Dar, aku suka Despair In The Departure Lounge. Om ku mau pulang dari London bulan ini, kamu mau--"
"NITIP HUMBUGGGGG!!!!!!!!!!!!"
....
...
..
Tak butuh waktu lama, cintaku akhirnya dipertemukan. Dan gue berakhir seperti ini:
And now, I'm madly in love with this thing. Labels: Pride
|
|
Monday, 9 November 2009,00:23
Dia Itu Aku
Ia menyaksikan dan bertanya. Kepada awan berarak mendung yang melayang bebas bak sekumpulan burung pelatuk kecil. Kepada batang keras yang bisu, dan kepada binatang pengelana yang mendengar. Jenuhnya ia akan ketamakan di sekitarnya, dan betapa jiwanya sudah muak dengan kepalsuan yang mengukungnya. Ia cinta kastil ini akan segala keindahan arsitekturnya tak tiada tara, namun hatinya bergejolak layaknya ombak yang menelan dan menggulung. Dan maka, berlarilah sang gadis, menjauhi kastil-nya yang nyaman.
Ek putih yang kokoh, lindungilah sang gadis! Ia ketakutan, teman-temannya bengis. Ia berlari ke tempat dimana ia mampu melantunkan kidungnya tanpa cela sumbang yang mengganggu. Halaman tujuannya. Sebuah lantunan kidung yang manis, menceritakan ketamakan dan kepalsuan, mengalun dari bibirnya yang bergetar. Tidakkah mereka teringat akan hari esok? Dimana tokoh kebajikan yang diimpikannya? Mati membusuk ditelan kekejaman rezim? Atau membusuk ditengah dominasi mereka yang palsu? Kungkungan ini membuat Ia terlihat polos, seakan-akan naga keji dalam relung hatinya tertimbu malu.
And the Earth throws up her burdens (from within); and Man cries (distressed); 'What is the matter with it?'*
Manusia hanya bisa mengeluh dan meminta. Mereka melakukan segala yang mereka mau, dan konsekuensi yang terlupakan. Teman-temannya menyakitinya, dan meminta bantuannya yang malang setelahnya. Terpikirkankah di sela-sela tidur mereka betapa rapuhnya dan sakitnya hatinya yang kecil ini? Bernyanyilah burung pelatuk kecil! Kau tak rasakan perihnya bumi ini. Kau 'kan bisa terbang bebas. Dan manusia hanya mampu mengeluh.
Ia mengaduh, pelajaran hari ini: Manusia hanya mampu mengeluh.
|
|
Sunday, 8 November 2009,07:07
Akui Sajalah!
Gue tahu gue sudah pergi terlalu jauh dari figur yang sudah lama gue tinggalkan itu. Lalu? Lalu memangnya kenapa kalo gue bukan lagi Amanda yang pintar dan rajin? Toh bukannya bagus sekali dengan kemajuan gue? Setidaknya sekarang gue jauh lebih mengenal diri gue sendiri, jauh daripada sebelumnya. Jadi; apakah gue jauh lebih bahagia dan merasa bebas? Hmm mm. Jawablah sendiri! Pandanglah wajah letih gue! Desahan kemuakan serta caci maki yang gue tujukan! Pada dunia, pada zaman, dan pada manusia-manusia angkuh di sekitar gue. Gue berhasil menjadi diri gue sendiri, tapi masih jauh dari kata bahagia.
Gue tahu gue hidup di dunia yang salah, gue hidup ditengah krisis identitas, dan mereka yang hidup untuk hari ini. Dan gue, si idealis yang kaku dan aneh, berdiri ditengah-tengah mereka, mengundang cemooh dan tatapan merendahkan. Setidaknya gue berhasil.. Menjadi Dara Susilo. Bukan lagi Amanda Dara, child prodigy, sudah 3 tahun gue tinggalkan nama itu. Mari sebutkan; hidup gue jauh lebih kompleks, bukan berarti gue seorang Drama Queen yang meratapi segalanya dan menggembungkan masalah sepele. Salah besar! Tapi pergumulan batin tidak bisa sepenuhnya gue acuhkan.
Jadi, ini masalah gue.
Gue toh hanya seorang adolesen 14 tahun yang tidak tahu menahu tentang kepercayaan dan kegigihan. Dan gue benci direndahkan, sayangnya gue berkawan dengan mereka yang terus merendahkan gue, siapalah mereka! Besarlah kepala mereka dengan udara! Mereka tak pernah lebih baik daripada gue. Dan gue benci direndahkan, tapi di sisi lain, gue masih membutuhkan mereka, ah setidaknya tahanlah emosi gue sampai di suatu saat mereka tidak lagi dibutuhkan. Berkawanlah dengan mereka yang dungu! Gue tidak ingin disaingi, ya, gue tahu gue lebih hebat.
Dan ini masalah kedua gue.
Yah, bilang saja kalau gue sayang mereka. Maksud gue, gue tidak pernah mempunyai teman yang mempunyai jalan pikiran yang sama dengan gue--walaupun kadang ucapan mereka terdengar superficial dan terkesan ikut-ikutan bagi gue. Tapi yah, setidaknya kita satu jalan pikiran. Gue menahan tawa atau cemooh saat dengan gagahnya mereka mengumakakan pendapat mereka yang menurut gue sangat konyol dan tidak mendasar. Pikiran-pikiran seperti itu bahkan tak akan pernah gue ucapkan. Gue akan malu, pastinya, tapi mereka mengatakannya! Tapi toh gue yang baik hati hanya diam, dan menertawai kebodohan mereka, kadang. Di satu sisi gue tidak ingn mereka tersinggung; tapi jauh lebih liar di sisi lain gue tidak ingin mereka mengetahui kesalahan mereka--gue ingin mereka terus mempertahankan teori-teori bodoh mereka. Dan gue akan melenggang pegri naik keatas, semenara mereka masih terkungkung dalam teori medieval mereka.
Sebutlah seseoran diantara kami. Ah, gue akui dia yang paling cantik serta manis diantara kami. Pembawaannya luwes, dan--waw! Gue terkagum-kagum dengan pergaulannya yang sangat luas. Menyambangi satu klub ke klub malam lainnya untuk kami yang berumur 14 tahun bukanlah usaha kecil. Perlu diapresiasi lah, setidaknya. Dan betapa hebatnya ia kala bercerita tentang kehidupannya. Dan gue dengan dua kawan terdekat gue, menatap satu sama lain, gue tahu, kami tahu; dalam hati kami saling menertawai kehebatannya. Kehebatan tahi kucingnya itu.
Nyatanya, mungkin inilah kalimat kami yang sebetulnya alih-alih "Wah, keren banget sih lo!" mungkin inilah kata-kata kami sebenernya, Ah lo gak lebih dari cewek tolol, ada apa dibawah otak lo selain tampil cantik dan menggaet cowok-cowok tak bermasa depan itu? Akuilah kawan-kawan sayang! Gue tahu kita semua berpikiran sama, bukannya kita tidak pernah jujur antara satu sama lain? Atau kita tidak pernah benar-benar jujur jika ada si cantik yang salah tempat ini? Gue tidak pernah menganggap ia bagian dari kita, sungguhan, bahkan gue tidak ingin ia menampakkan wajahnya lagi, kali lain kita pergi bersama.
Ah maafkan gue! Gue sayang kalian--hanya saja gue muak. Mungkin dengan dia, dan kadang kalian.
|
|
Wednesday, 4 November 2009,06:50
 obsessed.
|
|