|
 about me
It's Amanda Dara Amadea Susilo, but I'll go by the name Dara Susilo. I'm a Redwood, I got hazardous impetuous mind, and act precociously. I am rare, odd and inconspicuous.
15 years old fresh daisy, a proud Indonesiana with loveable words. I smell like an old wooden cabinet, but I'm told Victoria's Secret would make me smell nicer, so I got one.
What else? Read and judge, love.
extra infos : I don't like ice cream and candy. I hate Alexa Chung. I love Arctic Monkeys.
|
|
|
|
|
Monday, 28 December 2009,04:01
Siapa Dan Apalah
Lesson learned: Count 'em out. Jangan percaya pada siapapun. It's like getting to know each other again, like when you're a freshman, and you gotta find some new buddies for you to hang around together. It's like when you shouldn't get too much close, because you haven't knew who are they really, but they're the only people you could depend on, so you gotta act like you do trust em though you're not, so you're not gonna get lost among these outsiders. It's complicated, you wanna show these strangers how they should treat you, but you can't cause they already treated you like someone else. That mask you wore just to get along with them at first. Rasanya kayak belajar lagi mengenal orang-orang bary. Tapi rasanya sekarang jauh lebih sulit daripada mengenal orang-orang yang belum lo kenal. Gue tidak mahir dalam hal ini, lagipula gue kesulitan dalam meng-kover tiap awkward situation dengan senyum ramah atau suara manis. Gue payah dalam hal itu, gue mungkin hanya akan duduk di pojokan, menatap orang-orang baru ini dengan segenap prasangka dan sarkasme yang sebetulnya sangat tolol. Tapi sekarang berbeda, lo tidak berhadapan dengan orang-orang yang enggak pernah lo kenal sebelumnya, lo gak berhadapan dengan orang asing yang tidak lo ketahui perangainya sebelumnya. Melainkan berhadapan dengan teman-teman lo yang sudah lo kenal betul, sudah lo percaya betul.. Tapi ternyata mereka memiliki suatu sisi yang enggak akan pernah lo kenal sebelumnya. Sisi yang kadang terasa begitu berbahaya, sisi yang tidak akan mungkin kita perkirakan akan berbuat apa. Dan lo.. Terbingung-bingung dengan sisi yang makin lama makin bermunculan, membuat segalanya rancu dan membuat lo bingung harus percaya pada siapa. Karena lo gak pernah tau apa yang sisi itu rencanakan untuk lo. Kayak misalnya si pendengki yang suatu saat berubah menjadi begitu pengertian, lo keheranan, akan mempercayai sosok ini atau tidak, karena lo tidak tahu apakah itu adalah sisi baik dari dirinya, atau hanyalah bentuk kamuflase agar mereka bisa mengubek-ubek privasi lo dan kemudian membeberkannya pada publik saat lo mulai enggak menguntungkan dia. Atau si kritis idealis yang rupanya adalah sosok yang sering ia cemooh supaya ia bergabung dengan lingkaran manusia-manusia cantik tapi tak berotak itu, hanya agar cowok-cowok itu bisa meliat dia dari sudut pandang yang 'lebih baik' daripada saat bersama kita. Atau dia yang baik hati dan religius dengan segala petuah yang membuat gue sering terhenyak tapi merupakan seorang cewek gampangan yang sering cari perhatian? Jadi.. Siapa dari siapakah yang harus gue percaya? Gue percaya mereka baik, sebaik kalimat yang mereka ucapkan pada gue. Sejujur kritikan keras yang mereka tujukan buat gue tapi toh pada akhirnya membuat gue bangun dan menyadari kesalahan gue terdahulu. Tapi apalah yang lo ketahui dari sisi itu? Bagaimana kalo misalnya sisi lain sialan itu mendominasi diri mereka, menyerukan mereka untuk melakukan hal yang tidak pernah lo pikirkan akan mereka lakukan sebelumnya? Gue tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya setelah sekian tahun gue mengenal dan menjalani segalanya dengan mereka. Tapi semakin lama malah gue merasa asing dengan sebagian dari kawan-kawan gue, mereka yang berubah drastis, terkesan palsu.. Tapi apakah sesungguhnya gue lah yang tidak bisa membedakan mana mereka yang sesungguhnya? Ataukah sosok yang gue bilang palsu itu ternyata adalah diri mereka yang sesungguhnya, dan yang selama ini gue kenal malah sebaliknya? Ambigu. Gue sendiri menyadari gue memiliki sisi itu yang tidak pernah orang ketahui atau kira ada sisi seperti itu di dalam diri gue. Lihat saja, sebagian besar isi post gue di blog ini pun dikendalikan oleh sisi itu, sisi mengganggu dengan tingkat egoisme dan individualitas yang tidak terkira, Destrukif, narsistik, manipulatif, dan tak berhati itu. Sejak lama gue menamai dia Amanda. Kadang mengganggu pikiran lurus gue dengan sejuta prasangka, dan tuduhan tak beralaskan pada dunia yang tidak adil ini. Oh, gue tahu dunia memang tidak pernah adil. Tapi haruskah gue menjadi seorang Amanda? Seorang yang tidak pernah membutuhkan seseorang untuk mengasihi, tetapi selalu memenangkan tiap ronde dari kehidupan egois ini? Tapi gue juga tidak ingin menjadi Dara yang selalu tersenyum, dan diam kala ditertawakan, tetapi bahagia dalam tiap aspek namun terlalu lemah dan mudah mengalah. Jadi apakah gue telah berubah menjadi sesosok orang yang gue benci? Ah, Makassar berkelap-kelip diluar sana. Gue harusnya bergabung dengan keramaian kota, tapi gue disini. Diam sendiri di kamar hotel, dengan sejuta prasangkan bertebar di benak gue. Ah..
|
|
Friday, 11 December 2009,09:53
Masalah Adolesen II
Tunggu.
Apalah yang gue takutkan dari suatu akhir? Mengapa gue menjadi begitu uring-uringan saat gue sadar ini penghujung dari segalanya? Apalah yang gue cari dari sebuah hal tanpa akhir? Bukankah semuanya akan menuju satu akhir yang sama? Gue sudah mencanangkan itu di batang otak gue sejak bertahun-tahun lalu, meyakini diri gue untuk kuat menerima tiap akhir. Toh, memang tidak ada yang benar-benar abadi kan? Umur ada akhirnya, pernikahan paling harmonis pun pada akhirnya akan berakhir.. Saat kita mati? Lalu apalah taruhan dari sebuah gejolak adolesen konyol, senyum-senyum konyol dan setiap godaannya yang menghibur malam gue? Tidak ada, lagipula tidak ada yang perlu disesalkan, I got nothing to lose.
Tapi tetap saja gue terdiam, menatap barisan kata sinis yang masuk ke HP gue, menggantikan kalimat-kalimat panjang ceria dan konyol yang dulu memenuhi inbox gue. Gue tentu saja tidak menangis! Gue hanya tertegun, menyadari rupanya rentetan peristiwa yang membuat gue semakin dekat dan semakin dekat dengan orang itu harus berakhir seperti ini. Saat ia menatap gue dengan pandangan merendahkan, seakan dia alergi dengan cewek seperti gue, seakan dia jijik pernah berada sedekat itu dengan gue. Dan gue bukan seorang pendendam, gue hanya menatap dia tidak berdaya, sementara teman-teman gue masih berteriak-teriak menggoda tanpa melihat situasi sebenarnya. Gue hanya diam, gue dapat melihat raut jengah dari wajahnya. Dia benci saat teman-teman gue mulai meneriakkan nama gue dan namanya. Dia benci itu, tapi teman-teman gue tidak tahu. Dan gue mencoba memberitahu mereka, tapi mereka menganggap itu bukan sesuatu yang serius.
Oh ya, tentu saja, tidak ada yang pernah benar-benar serius diantara kami.
Dan bukankah dulu kita teman dekat? Gue menemani lo saat lo belum pulang dijemput, lo memainkan Rambut gue, atau menggoda gue dengan senyum lo. Dan gue tidak pernah berharap lebih--atau menatap lo dengan tatapan penuh pengharapan agar suatu hari kita bisa menjadi lebih teman. Sungguh, gue bersumpah demi apapun, gue menyukai lo, tapi sebagai teman. Dan sekalipun terbersit dalam benak gue, gue mungkin akan.. Entahlah.
Dan tapi mengapa lo begitu percaya diri? Menjauh dari diri gue setelah lo merasa bahwa gue cewek agresif yang ingin jadi pacar lo? Lo anggap seriuskah godaan teman-teman gue? Tolol lo Ger, lo tolol. Gue tidak suka sama lo dalam konotasi seperti itu. Sungguh gue bersumpah demi apapun. Maafkanlah teman-teman gue yang kadang lo rasa kelewatan, mereka menangkap cerita gue dari perspektif yang berbeda soalnya. Gue menceritakan tentang kedekatan kita sebagai kawan sepermainan, tapi mereka melihat ada indikasi lain.
Tapi haruskah sekarang lo bersikap seperti seorang bedebah? Jadi dalam artian lain, gue tidak akan lagi mendengar lo menertawakan ketololan gue, atau lo berkata "Nggak bukannya gitu Dar, tapi lo kocak." oh jadi sekarang gue bukan si Dara yang waktu itu diare di kelas dan ditertawai satu kelas tapi kemudian menjadi membuat lo leluasa menceritakan segala macam pikiran yang ada di otak lo lagi pada gue?
Jadi lo akan tetap melontarkan tiap kalimat sinis itu untuk menjawab pertanyaan bersahabat gue? Oh oke. Jadi ini akhirnya ya?
|
|