Kadang gue menatap diri gue sendiri di cermin begitu lama, kemudiang mengutuk-ngutuk diri gue sendiri; betapa kejinya kata-kata gue ke Davin, dan betapa jahatnya gue. Mungkin kakak-kakak yang lain akan merasa begitu terbebani beban perasaan bersalah seketika ia menghajar adiknya habis-habisan. Tapi lalu gue mendengus, kenapa gue bukan mereka?



Dan kemudian gue kembali merangkul adik gue itu tanpa rasa bersalah, seperti segala hujatan gue padanya hanya pelengkap hari yang semakin lama semakin membosankan, dan Ayah dan Ibu yan menatap pasrah, diam-diam bersyukur mereka tidak perlu lagi repot memekik tidak sabaran mengatasi adik gue yang satu ini. Lalu apalah gue? Gue yang hanya diperlukan untuk menghajar adik gue? Untuk menggantikan peran mereka, agar tiap kali mereka dengar segalanya tentang kekerasan dalam rumahtangga mereka bisa mengelak dan merasa tidak bersalah.. Lalu kemudian memberatkan beban psikis itu kepada gue?


Gue tidak benci dengan adik gue, gue hanya haus perhatian. Mungkin beberapa tahun yang lalu gue benar-benar si sulung yang begitu dibanggakannya kepada setiap kolega-kolega yang menyambangi rumah kami, berkoar lah mereka betapa hebatnya gue dalam hal ini, dan hal itu, yang sebetulnya tidak gue akui benar bahwa gue benar-benar ahli dalam hal itu? Lalu tahun-tahun kemudian saat gue tidak lebih dari anak SMP yang tidak benar-benar superior dalam hal apapun, mereka mulai membanggakan adik gue dengan segala potensi besarnya di bidang ini, dan itu, persis apa yang mereka lakukan terhadap gue dulu. Dan kemudian gue yang merasa terlupakan akan pergi menjauh, memupuk kebencian pada adik gue dan melampiaskannya pada pertengkaran selanjutnya.

Gue sudah bilang, gue tidak benci adik gue, gue hanya haus akan perhatian.

Selama ini gue selalu menjadi si sulung yang dituntut begitu sempurna akan segalanya, peraturan keuangan yang ketat, jadwal les ini itu yang padat, jam malam yang bikin gila dan segala usaha mereka untuk menjadikan gue sebagai contoh sempurna kepada adik gue. Gue benci jadi pertama yang harus mencoba segala hal, kemudian jika dirasa itu aman, barulah adik gue boleh mencobanya. Gue benci jadi anak perempuan yang dituntut enggak boleh keliaran, dan segala macam hal yang memaksa gue untuk melawan melepaskan tandas peraturan tidak adil mereka terhadap gue, dan oh! Alangkah beruntungnya adik gue, dengan bebasnya pergi kesana-kemari tak ingat waktu, dan orangtua gue yang pasrah tidak mampu melawan keinginan adik gue dan adatnya yang besar. Dan tebak apa? Cucuran hadiah metarial tak akan pernah berhenti diberikan kepadanya, dan makan semakin koponglah relung otaknya itu!

Tapi lalu setelah sekian jam gue menuturkan pupukan kebencian gue terhadap adik gue, dia akan tertawa, dan begitu pun dengan gue. Amanda tertawa dan kemudian ia selalu bilang pada gue; Tapi lihat kan, Dar? Lo akan selalu lebih hebat darinya, akan dan selalu. Dia adik lo, tapi dia tidak akan pernah lebih hebat daripada lo meskipun ia mendapatkan segalanya yang dia.

Dan mungkin dia benar.