Lesson learned: Count 'em out. Jangan percaya pada siapapun.
It's like getting to know each other again, like when you're a freshman, and you gotta find some new buddies for you to hang around together. It's like when you shouldn't get too much close, because you haven't knew who are they really, but they're the only people you could depend on, so you gotta act like you do trust em though you're not, so you're not gonna get lost among these outsiders. It's complicated, you wanna show these strangers how they should treat you, but you can't cause they already treated you like someone else. That mask you wore just to get along with them at first.
Rasanya kayak belajar lagi mengenal orang-orang bary. Tapi rasanya sekarang jauh lebih sulit daripada mengenal orang-orang yang belum lo kenal. Gue tidak mahir dalam hal ini, lagipula gue kesulitan dalam meng-kover tiap awkward situation dengan senyum ramah atau suara manis. Gue payah dalam hal itu, gue mungkin hanya akan duduk di pojokan, menatap orang-orang baru ini dengan segenap prasangka dan sarkasme yang sebetulnya sangat tolol.
Tapi sekarang berbeda, lo tidak berhadapan dengan orang-orang yang enggak pernah lo kenal sebelumnya, lo gak berhadapan dengan orang asing yang tidak lo ketahui perangainya sebelumnya. Melainkan berhadapan dengan teman-teman lo yang sudah lo kenal betul, sudah lo percaya betul.. Tapi ternyata mereka memiliki suatu sisi yang enggak akan pernah lo kenal sebelumnya. Sisi yang kadang terasa begitu berbahaya, sisi yang tidak akan mungkin kita perkirakan akan berbuat apa. Dan lo.. Terbingung-bingung dengan sisi yang makin lama makin bermunculan, membuat segalanya rancu dan membuat lo bingung harus percaya pada siapa. Karena lo gak pernah tau apa yang sisi itu rencanakan untuk lo.
Kayak misalnya si pendengki yang suatu saat berubah menjadi begitu pengertian, lo keheranan, akan mempercayai sosok ini atau tidak, karena lo tidak tahu apakah itu adalah sisi baik dari dirinya, atau hanyalah bentuk kamuflase agar mereka bisa mengubek-ubek privasi lo dan kemudian membeberkannya pada publik saat lo mulai enggak menguntungkan dia. Atau si kritis idealis yang rupanya adalah sosok yang sering ia cemooh supaya ia bergabung dengan lingkaran manusia-manusia cantik tapi tak berotak itu, hanya agar cowok-cowok itu bisa meliat dia dari sudut pandang yang 'lebih baik' daripada saat bersama kita. Atau dia yang baik hati dan religius dengan segala petuah yang membuat gue sering terhenyak tapi merupakan seorang cewek gampangan yang sering cari perhatian? Jadi.. Siapa dari siapakah yang harus gue percaya?
Gue percaya mereka baik, sebaik kalimat yang mereka ucapkan pada gue. Sejujur kritikan keras yang mereka tujukan buat gue tapi toh pada akhirnya membuat gue bangun dan menyadari kesalahan gue terdahulu. Tapi apalah yang lo ketahui dari sisi itu? Bagaimana kalo misalnya sisi lain sialan itu mendominasi diri mereka, menyerukan mereka untuk melakukan hal yang tidak pernah lo pikirkan akan mereka lakukan sebelumnya? Gue tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya setelah sekian tahun gue mengenal dan menjalani segalanya dengan mereka. Tapi semakin lama malah gue merasa asing dengan
sebagian dari kawan-kawan gue, mereka yang berubah drastis, terkesan palsu.. Tapi apakah sesungguhnya gue lah yang tidak bisa membedakan mana mereka yang sesungguhnya? Ataukah sosok yang gue bilang palsu itu ternyata adalah diri mereka yang sesungguhnya, dan yang selama ini gue kenal malah sebaliknya? Ambigu.
Gue sendiri menyadari gue memiliki sisi itu yang tidak pernah orang ketahui atau kira ada sisi seperti itu di dalam diri gue. Lihat saja, sebagian besar isi post gue di blog ini pun dikendalikan oleh sisi itu, sisi mengganggu dengan tingkat egoisme dan individualitas yang tidak terkira, Destrukif, narsistik, manipulatif, dan tak berhati itu. Sejak lama gue menamai dia Amanda. Kadang mengganggu pikiran lurus gue dengan sejuta prasangka, dan tuduhan tak beralaskan pada dunia yang tidak adil ini. Oh, gue tahu dunia memang tidak pernah adil. Tapi haruskah gue menjadi seorang Amanda? Seorang yang tidak pernah membutuhkan seseorang untuk mengasihi, tetapi selalu memenangkan tiap ronde dari kehidupan egois ini? Tapi gue juga tidak ingin menjadi Dara yang selalu tersenyum, dan diam kala ditertawakan, tetapi bahagia dalam tiap aspek namun terlalu lemah dan mudah mengalah. Jadi apakah gue telah berubah menjadi sesosok orang yang gue benci?
Ah, Makassar berkelap-kelip diluar sana. Gue harusnya bergabung dengan keramaian kota, tapi gue disini. Diam sendiri di kamar hotel, dengan sejuta prasangkan bertebar di benak gue. Ah..